Pusat Kajian Anggaran BKD SETJEN DPR RI

Temukan berbagai publikasi dokumen dari PUSKAJI ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI mengenai Analisis dan Referensi APBN, Jurnal, Infografis dan lainnya.

OPTIMALISASI PENERAPAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) PADA KEGIATAN PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK (PMSE)

Tanggal
2021-06-18
Penyusun
-

Tidak dapat dipungkiri bahwa penetrasi teknologi yang merambat begitu cepat dimanfaatkan banyak orang untuk melakukan berbagai aktivitas kegiatan sehari-hari termasuk juga untuk proses jual-beli. Pesatnya perkembangan pemanfaatan teknologi informasi di tengah masyarakat ini justru meraih windfall gain terutama di tengah pandemi Covid-19 ini. Dengan demikian, pemerintah mengeluarkan ketentuan terkait pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pemanfaatan produk digital luar negeri lewat Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Pentingnya kebijakan ini juga tercermin dengan dijadikannya penerapan PPN PMSE sebagai salah satu bentuk reformasi fiskal dalam optimalisasi negara yang tertuang dalam dokumen Kebijakan Ekonomi Makro Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun 2022. Di satu sisi penerapan PPN ini merupakan potensi dalam meningkatkan penerimaan negara. Namun disisi lain, kebijakan ini juga dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan kesetaraan perlakuan perpajakan (level playing field) antara pelaku usaha konvensional dan ekonomi digital, baik dalam maupun luar negeri. Untuk itu tulisan ini akan mengulas tentang perkembangan, potensi, dan tantangan penerapan PPN PMSE dalam optimalisasi peningkatan penerimaan negara. Aturan terkait PPN PMSE tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 Tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, yang mulai efektif berlaku sejak 1 Juli 2020. Pada pelaksanaannya sejak 1 Juli 2020 hingga April 2021 terdapat 65 perusahaan yang ditetapkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sebagai pemungut PPN PMSE, dimana 6 diantaranya merupakan perusahaan yang berlokasi di Indonesia. Adapun penerimaan PPN PMSE yang diperoleh selama periode September hingga Desember 2020 ialah sebesar Rp0,731 triliun sementara itu pada periode Januari hingga April 2021 mulai mengalami penin gkatan sebesar Rp1,11 triliun. Tentunya angka tersebut masih jauh dari target, dimana Kementerian Keuangan sendiri sempat mengkaji bahwa PPN yang diperoleh dari kegiatan PMSE ini sebesar Rp10,4 triliun. Hal ini menunjukkan DJP mengalami berbagai tantangan dan kendala dalam mengoptimalkan penerimaan PPN tersebut. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus maka kegiatan ekonomi digital ini justru menimbulkan versi baru shadow economy. Adapun beberapa tantangan ataupun permasalahan yang masih dihadapi pemerintah khususnya DJP dalam mengoptimalkan penerimaan PPN PMSE yaitu; keterbatasan akses memperoleh data menyebabkan Otoritas Pajak masih mengalami kesulitan dalam mengumpulkan informasi pelaku usaha PMSE, pengawasan dan pengenaan sanksi yang masih lemah dan aturan ini berpotensi menimbulkan Cost of Taxation yang cukup besar. Strategi optimalisasi PPN PMSE yang perlu dipertimbangkan pemerintah diantaranya; pemerintah perlu mempertimbangkan skema split payment dalam memungut PPN pada kegiatan PMSE, sosialisasi mengenai substansi dan administrasi pengenaan pajak atas PMSE kepada seluruh pemangku kepentingan. Selain itu, otoritas pajak perlu mengoptimalkan penerimaan PPN pada pelaku usaha PMSE dalam negeri yang didukung dengan perolehan akses data dan informasi terkait transaksi PMSE.

Tinjauan Kritis Produksi Padi Nasional

Tanggal
2021-06-18
Penyusun
-

Realisasi produksi beras pada tahun 2020 tidak mencapai target, yakni hanya 34,99 juta ton. Lebih mirisnya lagi, produksi tersebut juga mengalami penurunan dari tahun 2018 yang sebesar 37,90 juta ton. Penurunan tersebut tidak lain karena produksi padi mengalami penurunan dari 59,20 juta ton tahun 2018 menjadi 54,65 juta ton tahun 2020. Turunnya produksi ini disebabkan oleh turunnya luas panen dan produktivitas komoditas padi. Produktivitas ini juga merupakan salah satu faktor yang sangat memengaruhi tingkat kesejahteraan petani, khususnya tanaman pangan. NTPP tahun 2020 juga mengalami penurunan dibandingkan tahun 2018, dari 102,96 tahun 2018 menjadi 101,03 tahun 2020. Dalam kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2022, NTP ditargetkan dikisaran 102-104, di mana target tersebut juga merupakan target dari NTPP. Untuk mencapai target tersebut, maka perlunya meningkatkan produktivitas padi nasional. Terdapat beberapa persoalan yang dihadapi dalam meningkatkan produksi padi. Permasalahan dalam faktor luas panen, di mana mengalami penurunan disebabkan oleh masih lemahnya implementasi UU No. 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan alih komoditi. Sedangkan produktivitas disebabkan SDM yang didominasi pendidikan dasar, produksi benih varietas unggul jauh lebih rendah dari kebutuhan dan produktivitas hasil penelitian produksi benih varietas unggul tahun 2020 sedikit lebih rendah dari 2019, masih kurang akuratnya pendataan RDKK, serta bantuan alsintan masih terfokus pada pra panen. Karena itu, upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam memperhatikan faktor luas panen, yaitu pertama, penetapan luas lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam RTRW oleh pemerintah daerah (pemda) harus menjadi salah satu syarat dalam pemberian Dana Insentif Daerah (DID). Kedua, bagi petani yang ikut PLP2B diberikan bantuan alat mesin pertanian pra panen dan pasca panen. Selain itu, pemerintah dalam peningkatan produktivitas pertanian perlu mengupayakan pertama, perlu peningkatan kualitas pendidikan non formal khusus pendidikan peningkatan produktivitas dengan peranan penyuluh dan Perguruan Tinggi. Kedua, meningkatkan kapasitas produksi dan biaya untuk penelitian benih varietas unggul. Ketiga, terkait dengan faktor pupuk, pemerintah perlu memperbaiki sistem RDKK dengan berbasis identitas penduduk dan perlunya peningkatan tenaga survei atas lahan yang diajukan harus kurang dari 2 ha. Keempat, pemberian bantuan alsintan pasca panen bagi kelompok yang sudah mendapatkan alsintan pra panen, sehingga alsitannya lengkap dari pra panen sampai pasca panen. Kelima, menyederhanakan proses administrasi dalam peminjaman alsintan dari Brigade alsintan, serta komponen biaya angkut perlu dialokasi dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.