Sejak 2011, proses pembahasan dan penetapan Undang-Undang
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (UU APBN) di parlemen mengalami perubahan yang
signifikan. Perubahan
tersebut adalah kesepakatan DPR RI bersama pemerintah untuk
memasukkan beberapa
indikator yang dijadikan ukuran pencapaian sasaran pembangunan yang
berkualitas sebagai
salah satu norma dalam UU APBN, dimana hal ini tidak pernah diatur
dalam UU APBN tahuntahun sebelumnya. Secara kumulatif, ada delapan
indikator sasaran pembangunan yang
ditetapkan sebagai target yang harus dicapai oleh pemerintah dalam UU
APBN 2011-2020.
Namun, tidak semua indikator tersebut ditetapkan secara konsisten dalam
APBN setiap
tahunnya.
Dari sisi realisasi, dapat dikatakan bahwa tidak semua target indikator
yang ditetapkan
dapat terpenuhi setiap tahunya. Meskipun demikian, mayoritas
pencapaiannya mengalami tren
yang terus membaik dari tahun ke tahun atau dengan kata lain tren
kesejahteraan masyarakat
terus membaik. Namun, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian
pemerintah, agar
perwujudan peningkatan kesejahteraan lebih nyata dirasakan oleh
masyarakat Indonesia, bukan
peningkatan yang sifatnya relatif semu. Pertama, angka kemiskinan yang
menggunakan garis
kemiskinan sebesar Rp440.538 per kapita per bulan pada 2019 belum
sepenuhnya dapat
dijadikan ukuran yang mencerminkan kemiskinan yang sesungguhnya.
Kedua, angka kemiskinan
di perdesaan masih tinggi dan penurunannya relatif lambat. Ketiga,
indeks kedalaman dan
keparahan kemiskinan di perdesaan masih relatif tinggi. Keempat, profil
kemiskinan provinsi
yang berada di wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masih
memprihatinkan. Kelima,
struktur ketenagakerjaan nasional masih didominasi oleh pekerja
informal. Keenam, masih
tingginya persentase pekerja tidak penuh. Terakhir, indeks pembangunan
manusia provinsi di
wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masih terpaut cukup jauh
dengan angka nasional dan
provinsi lain.
Penetapan berbagai indikator sasaran pembangunan tersebut dapat
dijadikan sebagai
ukuran pencapaian kemakmuran rakyat yang diamanahkan konstitusi.
Namun, yang perlu
menjadi catatan adalah amanah konstitusi tidak hanya sebatas
mewujudkan kemakmuran rakyat
semata. Tetapi, yang diamanahkan oleh konstitusi adalah kemakmuran
rakyat yang diikuti
dengan terwujudnya keadilan sosial. Dalam UU APBN, penerapan prinsip
keadilan atau
pemerataan sebagai ukuran keberhasilan pengelolaan APBN yang sesuai
dengan amanah
konstitusi telah dilakukan, yakni melalui penetapan koefisien gini. Namun,
penetapan koefisien
gini tersebut belumlah mencerminkan pemerataan secara wilayah
sebagaimana prinsip keadilan
yang diamahkan oleh konstitusi. Koefisien gini hanyalah ukuran
ketimpangan atau
ketidakmerataan pendapatan antar individu. Artinya, koefisien gini belum
dapat dijadikan
ukuran pemerataan antarwilayah. Oleh karena itu, perlu adanya
penambahan indikator yang
mampu menggambarkan perbaikan ketimpangan antarwilayah atau
daerah dalam UU APBN di
masa mendatang. Urgensi adanya indikator yang mampu mengukur
ketimpangan wilayah
antardaerah juga didasarkan pada persoalan klasik yang masih menjadi
isu utama pembangunan
nasional. Persoalan klasik tersebut adalah ketimpangan antar wilayah
yang belum mengalami
perbaikan yang signifikan.