Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) Nomor 1 Tahun
2020 juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tersebut,
Pemerintah telah
menetapkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 dan
Peraturan Presiden Nomor
72 Tahun 2020, sebagai dasar perubahan postur APBN Tahun
Anggaran 2020, yang
diperlukan sebagai respon atas kondisi extraordinary pada tahun
2020. Program
Penanganan Pandemi COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional
(PC-PEN) diarahkan
untuk penanganan kesehatan, penyelamatan ekonomi dan
stabilitasi sektor keuangan.
PC-PEN mencakup enam klaster yaitu klaster kesehatan, klaster
perlindungan sosial,
klaster dukungan usaha mikro kecil dan menengah, klaster
pembiayaan korporasi,
klaster sektoral kementerian negara/lembaga dan pemerintah
daerah serta sektor
insentif usaha. Program PC-PEN berlanjut di tahun 2021 dan
memiliki peran yang
sangat penting dalam memulihkan dan menjaga stabilitas ekonomi
nasional di tengah
adanya pandemi COVID-19 yang sedang melanda Indonesia dan
dunia.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat
(LKPP) Tahun 2020, program PC-PEN terealisasi sebesar 83 persen
atau sebesar
Rp575,8 triliun dari alokasinya yang sebesar Rp695,2 triliun. Data
realisasi per 25 Juni
2021 menunjukkan realisasi program PC-PEN mencapai 34 persen
atau sebesar
Rp237,5 triliun dari alokasinya yang sebesar Rp699,4 triliun, dengan
rincian realisasi
klaster kesehatan sebesar 26,3 persen, klaster perlindungan sosial
sebesar 44,08
persen, klaster program prioritas K/L dan Pemda sebesar 31,1
persen, klaster
dukungan UMKM dan korporasi sebesar 26,3 persen, dan klaster
insentif usaha sebesar
63,5 persen.
Untuk mengoptimalkan penyerapan program PC PEN di tahun 2021,
pemerintah perlu
membenahi temuan-temuan terkait program PC-PEN dalam LKPP
tahun 2020. Di
samping itu, pemerintah juga harus meningkatkan dan memperkuat
pelaksanaan 3T
yaitu testing, tracing dan treatment terutama di daerah dengan
tingkat penularan
kasusnya tinggi, yang serapannya masih rendah per 25 Juni 2021,
yaitu sebesar 4,7
persen. Pada akhirnya pembenahan atas Data Terpadu
Kesejahteraan Sosial juga
menjadi prioritas utama untuk mengatasi exclusion dan inclusion
error yang masih
terjadi dalam pelaksanaan program perlindungan sosial agar upaya
pemulihan ekonomi
nasional dapat dilaksanakan tepat sasaran.