Percepatan pembangunan daerah tertinggal (DT) merupakan perwujudan
dari dimensi pemerataan dan kewilayahan yang tersalin khusus pada
Nawacita ketiga, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Dengan memegang amanah Nawacita tersebut, dalam RPJMN 2015-2019,
terdapat tiga indikator utama yang menjadi sasaran dalam
mengembangkan daerah tertinggal, yaitu indikator pertumbuhan
ekonomi, persentase penurunan penduduk miskin, dan peningkatan IPM.
Pada tahun 2015, pencapaian ketiga indikator tersebut tidak
menggembirakan, masing-masing indikator realisasinya di bawah target
yang telah ditetapkan. Fenomena yang terjadi di lapangan terkait daerah
tertinggal adalah tingkat kemiskinan di daerah tertinggal (19,36 persen)
masih lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan nasional 11,66 persen
di tahun 2015. Dari data tahun 2014, juga ditemukan bahwa tingkat
pendapatan daerah tertinggal juga masih jauh ketinggalan yaitu Rp 5,5
juta dibandingkan tingkat pendapatan nasional sebesar Rp 41,8 juta.
Kondisi sebaliknya justru terjadi jika melihat data tingkat pengangguran.
Tingkat pengangguran daerah tertinggal (5,4 persen) justru lebih sedikit
jika dibandingkan tingkat pengangguran nasional (7,2 persen).
Upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal berfokus kepada
empat kegiatan prioritas. Apabila diurutkan maka kegiatan prioritas paling
utama ialah kegiatan pemenuhan pelayanan dasar publik, lalu
peningkatan aksesibilitas/konektifitas di daerah, pengembangan ekonomi
lokal, serta yang terakhir terkait peningkatan kapasitas sumber daya
manusia maupun IPTEK. Disebabkan karena adanya keterbatasan
anggaran, maka intervensi kegiatan terhadap lokus lokasi harus ditangani
secara bertahap agar memiliki dampak lebih signifikan. Besaran anggaran
yang diperuntukkan bagi daerah tertinggal sendiri tidaklah sedikit.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
(Kemendes PDTT) sebagai kementerian teknis yang menjadi koordinator
dalam pembangunan daerah tertinggal memperoleh alokasi anggaran
agar bersinergi dan berkoordinasi dengan kementerian lainnya untuk
mensukseskan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Selain
belanja pemerintah pusat melalui belanja kementerian/lembaga, belanja
Transfer ke Daerah seperti Dana Alokasi Khusus dan Dana Desa juga
dialokasikan demi pembangunan daerah tertinggal.
Besarnya dana yang dialokasikan bagi daerah tertinggal serta strategi
yang matang dalam RPJMN 2015-2019 belum sepenuhnya menunjukkan
bahwa pembangunan daerah tertinggal merupakan fokus pemerintah
terbukti dari tidak tercapainya target dalam RPJMN 2015-2019 di tahun
2015. Pemerintah masih perlu meningkatkan koordinasi dan kerjasama
yang kompak antar kementerian/lembaga pemerintah pusat dan daerah.
Integrasi program kegiatan di tingkat pusat dan daerah juga diperlukan
karena pembangunan daerah tertinggal harus mempertimbangkan
keterkaitan dengan daerah lainnya serta dengan pusat pertumbuhan agar
pembangunan lebih efektif dan efisien serta tidak menciptakan
ketimpangan. Pengawasan baik dari pihak legislatif maupun eksekutif dan
pendampingan dalam pemanfaatan dana yang dialokasikan bagi daerah
tertinggal juga diperlukan demi efisiensi dan efektivitas pemanfaatan
sumber daya. Selain itu, diperlukan juga pembangunan kapasitas atau
pemberdayaan masyarakat desa/miskin yang kuat agar semua pihak
termasuk masyarakat miskin mampu menangkap peluang yang hadir
seiring dengan kehadiran infrastruktur yang memadai di daerahnya. Salah
satu upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui kerjasama
dengan wirausaha sosial atau praktisi sosial lain melalui skema Public-
Social Partnership (PSP). PSP dapat diintegrasikan dalam dana desa
dengan penggeraknya adalah para wirausaha/praktisi sosial mengingat
merekalah yang lebih memahami kebutuhan lokal masing-masing daerah.