Pusat Kajian Anggaran BKD SETJEN DPR RI

Temukan berbagai publikasi dokumen dari PUSKAJI ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI mengenai Analisis dan Referensi APBN, Jurnal, Infografis dan lainnya.

Target Penerimaan Migas Harus Realistis

Tanggal
2017-08-11
Penyusun
-

Pendapatan negara terbesar setelah pajak adalah sektor migas. Sektor migas dalam kurun waktu 2010-2014 rata-rata memberikan kontribusi sebesar 21,61% terhadap pendapatan negara. Namun, kondisi perekonomian global tahun 2015 khususnya anjloknya harga minyak mentah dunia memberikan dampak negatif terhadap sektor migas. Dampak yang paling signifikan adalah ICP yang terus mengalami penurunan, hal ini mengakibatkan penerimaan dari sektor migas baik PNBP migas maupun PPh migas mengalami penurunan. Penurunan ICP ini melemahkan daya tarik investor di sektor migas karena tingginya resiko investasi di sektor migas. Sedangkan harga yang begitu murah. Kemudian kondisi sumur eksploitasi dan eksplorasi setiap tahun terus mengalami penurunan. Bahkan cadangan minyak dan gas semakin menipis. Pemerintah perlu upaya membuat regulasi untuk mengatasi kondisi tersebut, khususnya regulasi dalam sistem kontrak sangat mempengaruhi daya tarik investor. Dengan kondisi penurunan ICP saat ini, sistem kontrak yang relevan bagi investor yaitu Block basis. Sebaliknya, jika ICP sudah tinggi kembali berkisar 100 usd per barel dan relatif stabil, maka sistem yang relevan yaitu POD basis. Kemudian untuk mengurangi biaya dalam operasional, pemerintah perlu mendorong Fasilitas Sharing antar KKKS. Dengan meminimalisir biaya operasional akan membawa dampak positif terhadap penerimaan migas yaitu Cost recovery bisa diminimalisir. Selain itu, target penerimaan migas dalam APBN 2016 perlu direvisi dengan kondisi terkini, karena pada kuartal pertama 2016 deviasi target ICP sudah berkisar 15-20 usd per barel. Penulis mengestimasi target yang realistis untuk penerimaan migas 2016 yaitu sebesar Rp99,83 triliun dengan PNBP sebesar Rp62,16 triliun dan PPh sebesar Rp37,67 triliun. Artinya ada penurunan target sebesar Rp20,23 triliun dari target APBN 2016.

Mengejar Ketertinggalan: Pembangunan Daerah Tertinggal

Tanggal
2017-08-11
Penyusun
-

Percepatan pembangunan daerah tertinggal (DT) merupakan perwujudan dari dimensi pemerataan dan kewilayahan yang tersalin khusus pada Nawacita ketiga, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Dengan memegang amanah Nawacita tersebut, dalam RPJMN 2015-2019, terdapat tiga indikator utama yang menjadi sasaran dalam mengembangkan daerah tertinggal, yaitu indikator pertumbuhan ekonomi, persentase penurunan penduduk miskin, dan peningkatan IPM. Pada tahun 2015, pencapaian ketiga indikator tersebut tidak menggembirakan, masing-masing indikator realisasinya di bawah target yang telah ditetapkan. Fenomena yang terjadi di lapangan terkait daerah tertinggal adalah tingkat kemiskinan di daerah tertinggal (19,36 persen) masih lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan nasional 11,66 persen di tahun 2015. Dari data tahun 2014, juga ditemukan bahwa tingkat pendapatan daerah tertinggal juga masih jauh ketinggalan yaitu Rp 5,5 juta dibandingkan tingkat pendapatan nasional sebesar Rp 41,8 juta. Kondisi sebaliknya justru terjadi jika melihat data tingkat pengangguran. Tingkat pengangguran daerah tertinggal (5,4 persen) justru lebih sedikit jika dibandingkan tingkat pengangguran nasional (7,2 persen). Upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal berfokus kepada empat kegiatan prioritas. Apabila diurutkan maka kegiatan prioritas paling utama ialah kegiatan pemenuhan pelayanan dasar publik, lalu peningkatan aksesibilitas/konektifitas di daerah, pengembangan ekonomi lokal, serta yang terakhir terkait peningkatan kapasitas sumber daya manusia maupun IPTEK. Disebabkan karena adanya keterbatasan anggaran, maka intervensi kegiatan terhadap lokus lokasi harus ditangani secara bertahap agar memiliki dampak lebih signifikan. Besaran anggaran yang diperuntukkan bagi daerah tertinggal sendiri tidaklah sedikit. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) sebagai kementerian teknis yang menjadi koordinator dalam pembangunan daerah tertinggal memperoleh alokasi anggaran agar bersinergi dan berkoordinasi dengan kementerian lainnya untuk mensukseskan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Selain belanja pemerintah pusat melalui belanja kementerian/lembaga, belanja Transfer ke Daerah seperti Dana Alokasi Khusus dan Dana Desa juga dialokasikan demi pembangunan daerah tertinggal. Besarnya dana yang dialokasikan bagi daerah tertinggal serta strategi yang matang dalam RPJMN 2015-2019 belum sepenuhnya menunjukkan bahwa pembangunan daerah tertinggal merupakan fokus pemerintah terbukti dari tidak tercapainya target dalam RPJMN 2015-2019 di tahun 2015. Pemerintah masih perlu meningkatkan koordinasi dan kerjasama yang kompak antar kementerian/lembaga pemerintah pusat dan daerah. Integrasi program kegiatan di tingkat pusat dan daerah juga diperlukan karena pembangunan daerah tertinggal harus mempertimbangkan keterkaitan dengan daerah lainnya serta dengan pusat pertumbuhan agar pembangunan lebih efektif dan efisien serta tidak menciptakan ketimpangan. Pengawasan baik dari pihak legislatif maupun eksekutif dan pendampingan dalam pemanfaatan dana yang dialokasikan bagi daerah tertinggal juga diperlukan demi efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya. Selain itu, diperlukan juga pembangunan kapasitas atau pemberdayaan masyarakat desa/miskin yang kuat agar semua pihak termasuk masyarakat miskin mampu menangkap peluang yang hadir seiring dengan kehadiran infrastruktur yang memadai di daerahnya. Salah satu upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui kerjasama dengan wirausaha sosial atau praktisi sosial lain melalui skema Public- Social Partnership (PSP). PSP dapat diintegrasikan dalam dana desa dengan penggeraknya adalah para wirausaha/praktisi sosial mengingat merekalah yang lebih memahami kebutuhan lokal masing-masing daerah.